Kelas : 1 KA 35
NPM : 15111365
Dosen : Retmiarti
MANUSIA,
PERADABAN DAN KEBUDAYAAN
Dalam
al-Qur’an, manusia diciptakan sebagai khalifah fil ardi dan dilengkapi
Allah dengan “akal budi” dan
memiliki kemampuan “cipta, karsa, dan rasa”. Dengan akal budi, manusia mampu memikirkan kosep-konsep maupun menyusun prinsip-prinsip yang diusahakan dari
berbagai pengamatan dan percobaan. Dengan kemampuan cipta, karsa, dan rasa, manusia mampu menjadikan keindahan penciptaan alam semesta seluruhnya dan
ciptaan kekuasaan-Nya. “Dan dialah yang telah menciptakan bagi kamu
sekalian pendengaran, penglihatan, dan hati. (Tetapi) sangat sedikit kamuu yang
bersyukur”. (Q.S. al-Mu’minun, 23:78).
Allah
telah mendorong manusia untuk
memikirkan alam semesta, mengamati berbagai gejala alam, merenungkan berbagai
ciptaan-Nya dan mengungkapkan hukum-hukum Allah di alam semesta ini. “Manusia mampu menggunakan akalnya,
yaitu menyatukan spritual (tauhid) antara rasio yang memikirkan penciptaan alam
dengan al-qalb yang mengingat Tuhan dalam segala tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Akal yang bekerja melalui kesatuan pikir dan zikir mampu mentransendir
realitas. Aqal, tidak sepenuhnya hanya diartikan dengan rasio semata-mata,
karena rasio (pikiran) dapat dikembangkan oleh kajian ilmu-ilmu, sedangkan zikir (al-qalb) dikembangkan oleh
spritualisme agama. Maka, keduanya merupakan kesatuan pembentuk kebudayaan.
Manusia sebagai khalifah Allah
dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupannya, yaitu kebutuhan rohani (ilmu, seni, budaya, sastra),
kebutuhan jasmani atau fisik (sandang, pangan, perumahan, peralatan teknologi, dan kebutuhan sosial
(sarana ibadah, sarana pendidikan,
sarana pembangunan, angkutan umum).
Maka dengan karunia Allah, berupa akal budi, cipta, rasa,
dan karsa manusia
mampu menciptakan kebudayaan. Manusia dengan akal budinya mampu
mengubah nature menjadi kultur, mampu mengubah alam menjadi kebudayaan. Manusia tidak hanya semata-mata terbenam di tengah-tengah
alam, justru manusia mampu mengutik-utik alam dan mengubahnya menurut
kemauannya sehingga tercipta apa yang dinamakan kebudayaan. Seperti dikatakan C.A. Van
Peursen, “manusia berlainan
dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam,
melainkan selalu mengubah alam itu. Entah manusia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk
penyelidikan ruang angkasa, entah manusia mencuci tangannya atau memikirkan
suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan,
ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiyahnya, dan justru itulah kita
namakan kebudayaan.
Dengan
demikian, segala sesuatu dapat dimungkinkan untuk diciptakan oleh manusia, maka ciptaan manusia yang dinamakan kebudayaan itu mempunyai sifat, corak
dan ragam yang luas dan kompleks. Ada kebudayaan yang material, yang
dapat dilihat dan diraba karena wujudnya kongkrit, seperti pakaian, kancing, mesin ketik, komputer dan
sebagainya. Ada pula kebudayaan immaterial, yang tidak dapat dilihat dan diraba
karena wujudnya abstrak, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, dan lain
sebagainya. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan yang beraneka ragam sifat,
jenis dan coraknya itu, paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu:
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma, peraturan dan sebagainya.
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
- Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dari uraian ini, tampak jelas bahwa
hubungan antara manusia dan kebudayaan, manusia sebagai
penciptanya, juga manusia
sebagai pemakai kebudayaan maupun sebagai pemelihara atau sebagai perusak kebudayaan.
Kebudayaan
Kata
kebudayaan berasal dari kata
Sangsekerta budhayah, bentuk jamak dari “buddi” yang berarti budi atau akal.
Jadi, kebudayaan biasa diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan
akal”. Ada seorang sarjana yang mengupas kata “budaya” sebagai
perkembangan kata “budidaya”
yang berarti daya dari budi (P.J. Zoetmulder, seperti dikutip
Koentjaraningrat, 1982: 80). Karena itu, kata budaya dan kebudayaan dibedakan.
Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan
kebudayaan berarti segala hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu (MM.
Djoyodiguno, 1958:24). Dalam antropologi budaya
tidak ada perbedaan arti antara budaya
dan kebudayaan. Dalam hal ini
kata budaya hanya dipakai sebagai penyingkat saja. Adapun kata culture
yang artinya sama dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin
colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah, atau
bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan aktivitas
manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Mengenai
definisi kebudayaan telah banyak
dikemukakan oleh para ahli ilmu sosial. Para sarjana
dan ahli antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan, yaitu:
- E.B. Taylor (Inggris), dalam bukunya Primitive
Culture, mendefinisikan kebudayaan
sebagai keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan
yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
- R. Lintonn, dalam bukunya The Cultural
Background of Personality, mendefinisikan
kebudayaan sebagai
konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah
laku yang unsure-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota
dari masyarakat tertentu.
- A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhon, kebudaayaan adalah keseluruhan
hasil perbuatan manausia yang bersumber dari kemauan, pemikiran, dan perasaannya.
Karena jangkauannya begitu luas, maka Ernest Cassire, membaginya ke dalam
lima aspek yang meliputi: kehidupan spiritual, bahasa dan kesusasteraan,
keseniaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, studi
tentang kebudayaan berarti studi mengenai tingkah laku manusia.
Tingkah laku manusia dalam cahaya studi budaya dapat dilukiskan sebagai
kerja, dan bicara. Tiga aktivitas tersebut disebut gerakan
dasar karena sesuai dengan tiga syarat yang menguasai eksistensi
manusia di dunia.
- S.T. Alisahbana, kebudayaan adalah menifestasi suatu bangsa.
- M. Hatta, kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu bangsa.
- Dauson, dalam bukunya, Age of the Gods,
mengartikan kebudayaan sebagai
cara hidup bersama (culture is common way of life).
- J.P.H. Duyvendak, kebudayaan adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai
yang beraneka ragam, dan berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.
- Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil
kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan
belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
- M.M. Djojodigoeno, dalam
bukunya Asas-asas Sosiologi (1958), menyatakan bahwa kebudayaan atau budaya adalah dari budi, yang
berupa cipta, karsa, dan rasa. Cipta, adalah kerinduan manausia untuk
mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi
pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan.
Karsa, adalah kerinduan manusia untuk menginsafi tentang hal sangka paran.
Dari mana maanusia sebelum lahir (sangkan) dan kemana manusia mati
(paran). Hasilnya berupa norma-norma keagamaan, kepercayaan.
Timbulah bermacam-macam agama karena kesimpulan manusia juga
bermacam-macam pula. Rasa, adalah kerinduan manusiaa akan keindahan
sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia
merindukan keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan. Buah
perkembangan rasa ini terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian
menghasilkan berbagai macam kesenian.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil cipta, rasa, karsa dan rasa
manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
a. Hasil-hasil budaya manusia itu dapat dibagi
menjadi dua macam:
- Kebudayaan jasmaniah
(kebudayaan fisik) yang meliputi benda-benda ciptaan maanusia, missal
alat-alat perlengkapan hidup.
- Kebudayaan
rohaniah (nonmaterial) yaitu semua hasil ciptaan
manusia yang tidak dapat dilihat dan diraba seperti: agama, ilmu
pengetahuan, bahasa, dan seni.
- Kebudayaan itu tidak diwariskan secara
generatif (biologis) melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara
belajar.
- Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, akan sukarlah bagi manusia untuk
membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan manusia tidak dapat
mempertahankan kehidupannya.
- Jadi, kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia.
Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Ada kebudayaan yang dapat
digunakan untuk membedakan maanusia dari hewan.
Uraian diatas
dimaksudkan untuk menekankan suatu kesimpulan
bahwa:
- kebudayaan adalah manifestasi dan perwujudan
segala kegiatan dan aktifitas manusia dalam menjawab tantangan eksistensi
hidupnya.
- kebudayaan adalah karya dan kreasi insani,
ciptaan manusia atau manmade.
- kebudayaan adalah khas manusia, dan
- kebudayaan adalah merupakan ciri yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya.
Dalam percakapan atau
tulisan-tulisan, istilah kebudayaan sering dikaitkan dengan istilah peradaban (berasal dari kata Arab:
Adab yang berarti “kesopanan, kehalusan dan kebaikan budipekerti”).
Istilah kebudayaan sering disejajarkan dengan istilah asing kultur dan
istilah peradaban biasanya disejajarkan dengan istilah asing civilization (civilisasi).
Peradaban
Koentjaraningrat,
menyatakan masalah kebudayaan
dan peradaban hanya soal istilah
saja. Istilah “peradaban”
biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang “harus”
dan “indah”, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan
sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang
kompleks. Tetapi pada sisi lain, istilah peradaban juga dipakai untuk
menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan,
seni rupa, sistem kenegaraan dan
ilmu pengetahuan yang maju dan
kompleks.
Peradaban berasal dari kata adab
yang artinya kesopanan, kehormatan, budi bahasa, etika, dan lain-lain.
Lawan dari beradab adalah biadab, tak tahu adab dan sopan santun. Menurut ahli
antropologi De Haan, peradaban
merupakan lawan dari kebudayaan. Peradaban adalah seluruh kehidupan social,
politik, ekonomi, dan teknologi. Jadi, peradaban
adalah semua bidang kehidupan untuk kegunaan praktis. Sebaliknya, kebudayaan
adalah semua yang berasal dari hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni
yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya musik, seni,
agama, ilmu, filsafat, dan
lain-lain. Jadi, lapisan atas adalah kebudayaan sedang lapisan bawah adalah peradaban.
Kaum
Humanis (pendukung De Haan) menganggap bahwa penguasaan kehidupan praktis (peradaban) atas kehidupan rohaniah
hanya mementingkan penguasaan kehidupan sehari-hari atau kehidupan netral
semata-mata, sedangkan pihak lain hanya mementingkan kehidupan rohaniah atau
kebudayaan. Sedangkan, Sedilot mengatakan bahwa peradaban adalah khazanah
pengetahuan dan kecakapan teknis yang meningkat dari angkatan ke angkatan dan
sanggup berlangsung terus. Hanya manusia yang selalu mencari, memperkaya, dan
mewariskan pengetahuan atau kebudayaan.
Dari
segi morfologi, peradaban
berarti kebudayaan yang telah
sampai pada tingkat jenuh, yang telah berlangsung secara terus menerus. Beals
dan Hoiyer, mengatakan bahwa peradaban (civilization)
sama dengan kebudayaan (culture) apabila dipandang dari segi kualitasnya,
tetapi berbeda dalam kuantitas, isi, dan kompleks pola-polanya.
Koentjaraningrat, menyatakan dalam dunia ilmiah juga ada kata “peradaban” di samping “kebudayaan”.
Paham peradaban adalah bagian-bagian dari kebudayaan yang mempunyai sistem
teknologi, seni bangunan, seni rupa, system kenegaraan, dan ilmu
pengetahuan yang luas sekali. Untuk saat ini pengertian yang umum dipakai
adalah peradaban merupakan bagian dari kebudayaan yang bertujuan memudahkan dan
menyejahterakan hidup.
Peradaban Islam adalah kesopanan,
akhlak, tata karma, dan juga sastra yang diatur sesuai syariat Islam (Glasse,
1996:11). Al-Hujwiri, menegaskan peradaban Islam adalah suatu pelajaran dan
pendidikan tentang kebijakan yang merupakan bagian dari “sendi-sendi keimanan”.
Labih
jauh disebutkan : Keindahan dan kelayakan suatu urusan, baik urusan agama
maupun urusan dunia sangat bergantung kepada ketinggian tingkat pendidikan. Ia
mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Nilai-nilai ketaqwaan seperti
taat mengikuti sunnah Nabi dan cinta kebajikan. Semua itu bersandar pada
pendidikan moral. Manusia yang mengabaikan pendidikan moral ini tidak akan
mampu mencapai derajat kesalehan, sebagaimana yang disabdakan
Nabi Muhammad saw, “Pendidikan moral (pendidikan tentang kebajikan) merupakan
syarat utama bagi orang-orang yang dicintai Tuhan”.
Al
Rozi, menekankan bahwa peradaban Islam
adalah sejauh mana membina hubungan social, yang mana sikap yang terbaik adalah
menjaga kehormatan dari dan menuruti sunnah Nabi. Persahabatan antara sesama manusia
harus dibina berdasarkan kepentingan Allah, tidak berdasarkan kepentingan dan
keuntungan pribadi.
Jadi,
peradaban Islam adalah
bagian-bagian dari kebudayaan Islam yang meliputi berbagai aspek seperti
“moral, kesenian dan ilmu pengetahuan, serta meliputi juga kebudayaan yang
mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni
rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang luas”. Untuk saat ini,
pengertian yang umumnya dipakai adalah peradaban Islam merupakan bagian dari
kebudayaan yang bertujuan memudahkan dan mensejahterakan hidup dunia dan
akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar